Buton merupakan sebuah nama yang mengingatkan kita akan sesuatu yang hitam yang menjadikan kita nyaman di jalanan, yaitu aspal. Buton ini seperti kota-kota
lain di Indonesia banyak berkembang di wilayah pantai. Hai ini dikarenakan oleh
aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial banyak dilakukan melalui laut
dan sungai pada masa lalu (sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai
dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut). Akibatnya muncul
pemukiman-pemukiman di sekitar sungai dan pantai. Pemukiman itu pada
perkembangannya berubah menjadi kota Buton seiring dengan adanya interaksi antara
penduduk asli dengan pendatang setelah melalui proses yang panjang. Hal ini
dapat dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota Buton dengan kepentingan yang
berda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau profesi di kota Buton sebagai gejala
kekotaan yang lebih kompleks.
Muncul
dan berkembangnya pemukiman baru juga berkaitan erat dengan faktor politik di Buton.
Kondisi politik di Sulawesi pada abad ke-17 sampai awal abad ke-20 ditandai
oleh terjadinya konflik internal antar kerajaan di Sulawesi Selatan seperti
Kerajaan Gowa dengan Bone. Konflik ini juga terjadi dengan Belanda dan Ternate.
Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi Tenggara, khususnya Buton menjadi
sasaran para imigran asal Sulawesi Selatan karena wilayah ini mudah dijangkau
dan dianggap aman. Para pendatang dari Makasar juga mendiami wilayah Kendari,
Muna, dan pulau-pulau lainnya di kawasan itu.
Dampak
dari konflik ini adalah ditinggalkannya pemukiman asal dan pembukaan pemukiman
baru oleh kelompok masyarakat Bugis-Makassar di wilayah pantai Buton. Bahkan
ada sebuah pulau yang berada di sekitar Pulau Buton yang dinamakan dengan Pulau
Makassar. Selain itu, ada nama kampung yang dinamakan dengan kampung Bone-bone,
Wajo(Bajo). Nama-nama itu berasal dari sebutan penduduk Bone dan Wajodi
Sulawesi Selatan dan penduduk Bajau. Kelompok sosial itu sekarang dikenal
dengan nama Sama Bajau. Komunitas panduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu,
Cina, dan Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk Kota Buton.Suku lain
yang tinggal di Buton adalah Tolaki, Muna, Tukang Besi dan Kabaena. Pada
perkembangan kemudian, intensifnya aktivitas perdagangan dan perubahan
kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda, wilayah itu dijadikan sebagai Onderafdeeling Celebes. Wilayah Onderafdeeling Celebes (Boeton en
Laiwoei) kemudian menjadi provinsi pada tahun 1962 berdasarkan Undang-Undang
No. 2 tahun 1962.
Posisi
Buton sangat dekat dengan pusat birokrasi kolonial untuk wilayah Timur
Indonesia yakni Ambon dan Makassar. Maluku dikenal sebagai tempat perekrutan
prajurit yang ditempatkan untuk beberapa daerah di Indonesia oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Secara ekonomi, Ambon (Maluku) dikenal juga sebagai pusat
produksi rempah-rempah yang laku di pasar Internasional sehingga banyak
dikunjungi oleh para pedagang. Pada abad ke-19, Makasar tampil sebagai kota
pelabuhan dan kota dagang yang ramai. Kota ini oleh Belanda juga dijadikan
sebagai pusat birokrasi. Kondisi itu sangat menguntungkan posisi Buton karena
berada di jalur Maluku-Makassar, dan juga lebih mudah dijangkau dari kedua kota
itu(Makassar dan Ambon) untuk melakukan perdagangan antar pulau.
mari bersama memajukan pertanian
BalasHapusya, mari berswasembada pangan sobat.
Hapuspangan bukan hanya beras, masih banyak sumber pangan yang dapat dikembangkan dan menjadi unggulan