Home » » HUTAN UNTUK RAKYAT

HUTAN UNTUK RAKYAT

Rakyat dan Hutan Ketika Pasar Berjaya
Profesor Tania Li

Pada tahun 2002, saya diundang untuk memberi masukan dalam
sebuah lokakarya nasional bertajuk Social Foresffy: Refleksi Empat
Tahun pasca Reformasi. Lokakarya tersebut diikuti oleh 160 peserta dari seluruh Indonesia -warga desa, kalangan LSM, pegawai
pemerintah, politisi, lembaga donor dan peneliti. Saya diminta untuk
menjadi pengulas: mengamati diskusi dan perdebatan, berbicara dengan
pata peserta, dan memberikan komentar serta umpan balik kepada
penyelenggara. Sebagai seorang antropolog, saya tidak asing lagi dengan
peran ini. Saya memandang pertemuan ini sebagai "arena" etnografis -
suatu lingkungan sosial dengan kode, perilaku, tabu, dan model
interaksinya sendiri. Saya mencatat, agaknya. proses diskusi dan
perdebatan akan "difasilitasi", demi sebuah kelancaran, dan bias berjalan
sesuai dengan alur yang sudah dipersiapkan oleh pihak penyelenggara.
Segala macam kejanggalan dan kejutan berusaha untuk dihindari.

Premis utama dari lokakarya ini mengacu pada persepsi bahwa kehutanan
sosial akan mampu menyediakan solusi yang masuk akal bagi dua
masalah kembar: kehancuran hutan dan kemiskinan yang menimpa
masyarakat desa hutan. Pertanyaan lokakarya ini adalah bagaimana
program kehutanan sosial bisa berjalan lebih efektif. Untuk itu, para
peserta diwajibkan mengindetifikasi masalah yang dihadapi dan diminta
untuk membuat rancangan pemecahannya. Kritik atas kebijakan dan
program yang tengah berjalan boleh dikemukakan, namum etika
lokakarya ini mensyarakatkan agar kritik-kritik tersebut bersifat
konstruktif.

Pada acara pleno yang dihadiri para pejabat senior pemerintah, beberapa
peserta mengungkapkan kekesalannya atas tingginya laju kerusakan
hutan, baik akibat kegiatan legal maupun ilegal logging. Seorang peserta
yang mewakili Perhutani secara terbuka mengakui bahwa hutan di Jawa tengah berada dalam situasi yang mengerikan; Perhutani telah gagal menyelamatkan hutan-hutan tersebut. Berangkat dari sini, maka Perhutani
perlu mengadopsi satu paradigma baru yang sepenuhnya berbeda dengan
paradigma lama. Seorang wakil Inhutani iuga menyatakan hal yang sama,
bahwa industri kehutanan di luar Jawa tengah menghadapi krisis, sebagai
akibat dari protes masyarakat; kini Inhutani berusaha keras mencari cara baru, guna membangun relasi dengan masyarakat di masa yang akan
datang. Ada semacam optimisme, bahwa masyatakat akan mampu
menyelamatkan hutan dan industri kehutanan, dua hal yang telah gagal
dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha hutan. Dengan
mempertimbangan pelbagai masalah tersebut, kalangan pemerintah dan
para pengkrtitiknya kemudian menyatu dalam satu gagasan yaitu
kehutanan sosial; di mana rakyat akan memainkan peran lebih besar
dalam pengelolaan hutan. Namun apa artinya "mengelola" hutan? Siapa
"rakyat" yang disebut-sebut dalam diskusi ini? Apa andil mereka?
Bagaimana mereka terkait dengan hutan, pegawai-pegawai kehutanan,
dan dengan para aktivis yang menyuarakan kepentingan mereka? Apakah
mereka tertarik pada konservasi dan kelestarian hutan, sebagaimana yang
dikehendi para pendukung kehutanan sosial , atau apakah mereka lebih
tertarik mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian , atau menebang
hutan untuk meraih keuntungan semata? Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu tidak didiskusikan dalam lokakarya tersebut.

Salah satu acara dalam lokakarya mewajibkan beberapa kelompok peserta
untuk menggambarakan inisiatif mereka dalam rangka mempromosikan
gagasan kehutanan sosial, mengevaluasi keberhasilan dan kegagalannya,
serta membuat rekomendasi demi kemajuan di masa yang akan datang.
Barangkali itu adalah saat ketika begitu banyak pengalaman para peserta
digali - masing-masing memiliki cerita yang bertutur tentang rakyat, hutan
dan program yang benar-benar mereka ketahui dari dekat. Namun
kompleksitas dan ciri khas pengalaman tidak dapat dikemukakan dalam
format lokakarya. Lokasi, praktik, proses dan dilema yang unik pada.
masing-masing kasus hanya bisa disederhanakan menjadi beberapa kata
yang ditulis di atas secarik kertas, ditempelkan ke dalam diagram, dan dikelompokkan menjadi masalah-masalah umum, seperti "rendahnya
partisipasi", "lemahnya kesadaran lingkungan" , atau "minimnya
komunikasi". Pemecahan masing-masing masalah juga didekati secara umum, seperti "peningkatan partisipasi", "peningkatan kesadaran",
"komunikasi yang lebih baik." Apa arti semua frase-frase itu? Apa alasan
di baliknya? Jika partisipasi rendah, mengapa ini terjadi? Mungkinkah
bahwa rendahnya partisipasi dengan sendirinya merupakan satu bentuk
komunikasi yang tidak seluruh pesannya.bisa tertangkap, atau bahkan
sengaja dihilangkan?

Pada akhirnya, saya merasa lokakarya ini hanya berpulang pada asumsi
awalnya, bahwa kehutanan sosial adalah jawaban bag masalah-masalah
kehutanan, yang penerapannya membutuhkan lingkungan kebijakan
kondusif, partisipasi, komunikasi, dan teknik yang lebih baik, serta
dukungan dana yang berkelanjutan. Saya sebenarnya tidak banyak
mempelajari hal-hal yang terkait dengan desa hutan di Indonesia pada
tahun-tahun setelah Reformasi, dan saya juga tidak mengetahui secara
pasti bagaimana proses kehutanan sosial perlu direnungkan ulang dalam
konteks kondisi ekonomi, sosial dan politik yang baru. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, rasanya kita dapat menengok buku yang
ditulis Santoso ini.
Di buku ini, dia mengungkapkan segenap pengalaman masyarakat
desa hutan di Jawa melalui kacamata penelitian yang terbuka bagi
hal-hal mengejutkan. Ketika dia tinggal selama beberapa bulan di
satu desa hutan, berdialog dengan masyarakat, mendengarkan dan
mengamati, dia tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Banyak
hal yan g dia temui membingungkan dan kontradiktif. Temuan-temuannya
tidak mengacu pada kebijakan atau program-program
yang sudah ada. Secara hati-hati dia kemudian mengungkapkan apa
yang ada - tanpa penilaian, tanpa simplifikasi, tanpa pengurangan
bagian-bagian yang tidak tepat secara politik, atau yang tidak sesuai
dengan kearifan-kearifan yang sudah tedanjur melekat pada program
kehutanan sosial. Dia menunjulkan bahwa masyarakat desa hutan
bersikap skeptis terhadap program pemerintah dan para aktivis
perkotaaan untuk satu alasan yang sama: mereka berbicara dengan
bahasa-bahasa agung tentang target, tujuan, dan kehidupan yang lebih
baik bagi semua orang, tetapi seringkali kenyataan tidak sesuai
dengan harapan, dan ongkos serta risiko yang dihadapi masyarakat
tidak banyak diperhitungkan.
Tidak ada pahlawan di dalam buku ini; tidak juga para penjahat.
Sebaliknya, yang nampak adalah penjelasan tentang interaksi antar
masyarakat antara masyarakat dengan hutan, antara masyarakat dengan
negara, dan yang pahng penting pada masa ini, adalah antara masyarakat
dengan pasar kayu. Itu semua dikemukakan berdasarkan situasi empirik
dengan mempertimbangkan aspek-aspek kultural. Buku ini memberikan
kontribusi yang begitu besar bagi perdebatan seputar masa depan hutan
di Indonesia. Saya sangat merekomendasikan buku ini: mudah dibaca,
informatit dan menantang. Buku ini juga mendorong para pembaca untuk
memikirkan ulang kebijakan pemerintah dan agenda advokasi yang
umumnya kurang didasarkan pada pemahaman yang memadai atas
hubungan masyarakat dengan hutan. Tantangan yang disodorkan buku
ini bukanlah sesuatu yang abstrak, bukan pula istilah-istilah kosong atau
ideologis, sebagaimana yang mungkin akan ditemui orang dalam seminar
atau perdebatan tentang kebijakan. Tantangan itu muncul dari sebuah
studi yang detail atas kompleksitas dunia nyata di sebuah kawasan desa
hutan di Jawa, pada masa lalu maupun masa kini.
Buku ini diawali dengan pemaparan suatu tempat, Wonomukti, dan
sejumlah orang yang memiliki keterikatan dengan tempat itu. Para aktor
yang terlibat peliputi warga desa yang berladang di dalam hutan, dengan
atau tanpa izin; warga desa yang mencuri kayu dari hutan, baik dalam
iumlah besar maupun kecil; wmga desa yang sibuk menumpuk harta dan
berinvestasi; warga desa yang hampir tidak dapat bertahan hidup dari
bulan ke bulan; dan warga desa yang juga menjadi polisi hutan atau
pegawai kehutanan kelas rendahan - bisa berupa orang dalam (tetangga,
kawan dan kerabat) atau orang luar. Selanjutnya buku ini menggambarkan
sejumlah bentuk perilaku masyarakat, baik yang terkait dengan hutan
maupun sesamanya. Bentuk-bentuk perilaku ini meliputi buruh
kehutanan, perladangan di dalam hutan, sabotase hutan, dan pencurian
kayu yang dilakukan oleh segenap warga desa; serta praktek pengamanan,
pembinaan, alokasi lahan, penegakan hukum, dan pembuatan peraturan
oleh pegawai kehutanan. Perilaku tersebut juga termasuk berbagai bentuk
negosiasi dan kompromi - mencari jalan pintas, saling pengertian,
memelintir dan menyesuaikan peraturan demi kepentingan bersama.
Sebagaimana yang terungkap di buku ini, masyarakat desa hutan yang
mencoba mematuhi semua peraturan kehutanan, kecil kemungkinan akan mampu bertahan hidup: lahan garapan yang dialokasikan pihak kehutanan
terlalu sempit untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara tanaman
jati tumbuh terlalu cepat (membuat naungan) sehingga menghambat
pertumbuhan tanaman palawija yang ada disekitarnya, upah yang mereka
terima juga terlalu rendah. Model interaksi masyarakat dengan hutan
sebagaimana yang secara resmi digariskan pemerintah, agaknya, tidak
cukup bisa diandalkan. Maka setiap orang harus melanggar peraturan
kehutanan demi bisa mencukupi kebutuhan - pegawai kehutanan faham
akan hal ini. Para pegawai kehutanan kelas rendahan juga harus melanggar
peraturan agar dapat bertahan hidup dengan upah mereka yang pas-pasan
-warga desa juga mengerti akan hal ini. Akomodasi dicapai berdasarkan
kondisi semacam ini. Ketegangan biasanya akan muncul ketika seorang
pegawai baru datang, dan dia tidak memahami bagaimana segalanya
berlangsung - segala macam upaya yang semata-mata ditujukan untuk
mengejar target demi menyenangkan atasan, seringkali akan berakhir
pada kegagalan: lahan-lahan terlantar, ditinggalkan para penggarapnya.
Adalah akomodasi dan kompromi, bukan konfrontasi terbuka , yang telah
lama menandai hubungan antara negara dengan masyarakat desa hutan.

Dalam situasi seperti itulah Santoso menemukan jawaban bagi segenap
pertanyaan yang sering dikemukakan para ilmuwan dan aktivis: mengapa
masyarakat desa hutan tidak memberontak? Tidakkah mereka menyadari
ketidakadilan ketika tanah nenek moyang mereka diambil alih oleh
pemerintah kolonial dan penerusnya? Tidakkah mereka marah atas
eksploitasi tenaga mereka? Tidakkah mereka ingin menentang rezim yang
memaksa dan menindas mereka? Mengacu pada buku ini, jawabnya tidak
terletak pada kegagalan masyarakat desa hutan memahami situasi yang
dihadapi, atau menerimanya sebagai suatu keniscayaan belaka; akan
tetapi terletak pada prinsip bahwa mereka tidak menyandarkan diri pada
dunia ideal, atau yang sejenisnya. Mereka mencatat dengan cukup
pragmatis, bahwa lebih dari satu abad mereka telah mampu bertahan
hidup dengan memanfaatkan hutan dan lahan “negata” meski pelbagai
peraturan kehutanan berusaha keras menyingkirkan mereka. perlawanan
frontal justru akan mengancam keselamatan, taruhlah seperti menghadapi
risiko pengusiran, hukuman, atau kematian. Merekupun kemudian
berhitung lebih baik berpegang pada apa yang sudah mereka miliki,
sambil terus mengupayakan perbaikan secara perlahan, sabar, dan taktis,
sekaligus menekan serta diam-diam melakukan perlawanan terhadap
kekuatan yang mengeksploitasi dan menghisap mereka. Dalam kurun
waktu lebih dari satu abad, puluhan ribu masyarakat desa hutan, melalui
cara efektif ini, telah ikut menentukan bentuk pengelolaan hutan di Jawa,
meski tanpa pernah mengklaimnya sebagai sebuah "hak". Mereka,
bagarmanapun, telah berhasil menyelamatkan kehidupan mereka sendiri;
tidak melalui klaim dan protes yang dramatis, namun melalui aksi kecil-kecilan
yang bersifat langgeng.

Argumen kunci buku ini adalah, bahwa masyarakat desa hutan tergolong
sebagai ahli neraca rugi-laba. Mereka selalu memperhitungkan biaya,
risiko, dan keuntungan dari setiap usaha ekonomi, tidak terkecuali klaim
politik; secara hati-hati mereka menjajagrapaymgbisa didapat atau apa
yang harus dikorbankan dari setiap tindakan yang dilakukan. Mereka
tidak merasa perlu memverbalkan perhitungan semacam itu, yang
seringkali memang sudah menyatu dengan perilaku; mereka menganggap
itu semu a adaLah hal yang lumrah. Orang luar bias anya akan mengalami
kesulitan untuk memahami rumit dan licinnya perhitungan-perhitungan
mereka, tapibagarmanapun, itu tidak berarti kita bisa mengabaikannya.
Begitu sering, demikian penulis buku ini menggambarkan, keputusankeputusan
yangdibuat oleh masyarakat desa hutan dipandang oleh orangorang
kehutanan sebagai suatu kesia-siaan atau kemalasan; oleh para
environmentalis dranggap sebagai fakta kesadaran lingkungan yang
rendah; dan oleh para aktivis dilihat sebagai fakta kesadaran palsu,
kegagalan memahami tabiat elsploitasi, dan kegagalan mengupayakan
perlawanan. Pendeknya, hampir setiap orang sepertinya memiliki
rumusan bagaimana masyarakat desa hutan harus berubah dan diubah,
namun agal
npaya untuk memahami mengapa mereka berperilaku demikian,
bagaimana mereka melihat dunia ini, dan perhitungan-perhitungan apa
yangikut membentuk sfrategi pertahanan atau peningkatan taraf hidup.
Kontribusi paling nyata dan orisinil dari buku ini, menurut pandangan
saya, adalah wawasan yang disampaikan penulis mengenai perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat desa hutan sejak masa reformasi. Di
Wonomukti, reformasi tidak dimaknai sebagai era baru politik demokrasi, atau pemberantasan korupsi. Ia merupakan kesempatan untuk
memaafkan pencurian: menurut data resmi Perhutani yang dikutip
Santoso, pencurian kayu meningkat dari 6.613 pohon pada tahun 1997,
mejadi 88.171 pohon pada tahun 1998. Penulis menjelaskan peningkatan
pencurian kayu secara besar-besaran dan tiba-tiba ini melalui dua cara-
Mama, dia menunjuk pada hilangnya kredibilitas dan kapasitas
gakan hukum oleh orang-orang kehutanan, sebagai akibat dari
keterlibatannya dalam berbagai kasus pencurian (penjarahan)- Ketika
orang lain bisa meringankan beban hidup dari kayu jarahan; maka
masyarakat desa hutan pun merasa sah untuk ikut bergabung bersama mereka
tidak "terprovokasi" oleh ppa mafia kayu; mereka membuatperhitungan untung -rugi dengan caranya sendiri, berpegang pada realitas jaman yang memang telah berubah: keuntungan besar bisa didapat dengan
resiko yang kecil, jadi mengapa tidak?

Kedua, penulis buku ini menunjuk pada segenap transformasi nilai dan
aspirasi masyarakat desa hutan, sebagai akibat dari persinggungan mereka
degan logika pasar yang sudah berjalan lama. Pemerintah Belanda dan
rezim selanjutnya memperkenalkan masyarakat desa dengan gagasan
bahwa hutan adalah sumber kayu, dan pada gilirannya kayu adalah
sumber keuntungan. Gagasan ini perrahan-lahan diyakini, dan menggeser
gagasan lama tentang hutan sebagai sumber bagi beragam komoditas,
rumah bagi para arwah, dan lain sebagainya. Identitas dan aspirasi
masyarakat juga telah terbangun ulang selama beberapa dasawarsa
terakhir, seiring dengan diyakininya gambaran modernitas yang
diasosiasikan dengan pendidikan dan kepemilikan barang-barang
konsumen- Adalah media, dan juga pemerintah, yang ikut
mempromosikan gagusanseperti itu, sekaligus memposisikan masyarakat
yang tidak berpendidikan dan tidak mamfu menjangkau dunia modern
sebagai kalangan yang tersingkir dan terbelakang. Ketika terjadi krisis
ekonomi dan kekacauan reformasi, terbuka kesempatan bagt qasyarakat
untuk menarik keuntungan dari hutan, dan mendapatkan batang-bmang
yang selama ini berada di luar jangkauan; mereka, rupanya, melakukan
itu semua sesuai dengan apayangsudah dipelajari- Temuan ini mungkin
akan mengejutkan dan mengecewakan oran g yang membayangkan
masyarakat desa memiliki dedikasi tingg pada vpaya pelestarian hutan,
dan hanya akan memanfaatkan hutan tidak lebih dari sekedar kebutuhan
subsistensi. Angka- angka y ang di ceritakan buku ini, bagaimanapun juga,
tidak bisa kita abaikan.

Daripada menilai segenap tindakan masyarakat tersebut, Santoso, penulis
buku ini, lebih tertarik untuk mencari penjelasannya, dengan
menempatkan semua itu ke dalam konteks bentuk-bentuk perlawanan
lama dan bentuk-bentuk peluang serta kendala yang baru. Inilah yang
dia maksudkan sebagai simpang jalan. Beragam jalanterangkai menuju
masa kini, dan ada berbagai jalan yang terangkai dari sini. pia tidak
menemukan nostalgia di Wonomukti, tidak ada hasrat masyarakat di sana
untuk kembali kepada carayangpernah ditempuh nenek moyang mereka,
atau kepada kehidupan petan I yang keras, tidak menentu, dan hanya
menggarap secuil lahan hutan, legal ataupun ilegal. Para perencana,
aktivis perkotaan, dan pihak-pihak lain yang ingin mengupayakan
pendapatan alternatif masyarakat desa hutan, serta memperbaharui
model interaksinya dengan hutan yang ada disekitarnya, harus menyadari
bahwa jalan yang kini ditempuh masyarakat mempunyai berbagai daya
tariknya sendiri, paling tidak dalam jangka waktu iunependek pilihan-
pilihan yangkurang menguntungkan, atauberisiko tinggi, mungkin akan
drtanggapi dengan sopan, tapi akan diikuti dengan partisipasi yang rendah,
komunikasi yang minim, dan kerja sama yang lemah; inilah yang
kemudian sering membingungkan dan membuat frusff asi paru peserta
lokakarya kehutanan sosial.
Tania Li, PhD
(Tania Li adalah guru besar pada jurusan Antropologi, Universitas Toronto, Kanada.
Dia sudah melakukan penelitian mengenai perubahan agraria di lndonesia sejak
1989 -Dia adalah penyunting buku "Proses Transformasi Daerah pedalaman di
Indonesia", diterbitkan oleh yayasan Obor, Jakarta,2002
(terjemahan). Beberapa afiikelnya telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Jurnal
Wacana, Analisis Sosial, dan Seputar Rakyat)
Pengantar dari buku senior saya
"Perlawanan di Simpang Jalan"
Oleh: Hery Santoso


2 komentar:

Chit-Chat

Find Us on Facebook

Diberdayakan oleh Blogger.