Diperkirakan ada
sekitar 50 juta orang berpenghasilan rendah yang menggantungkan hidupnya pada
kemurahan hutan. Beragam faktor yang melatarbelakangi kondisi kemiskinan
mereka. Oleh karena itu, perlu adanya wadah yang mampu meningkatkan
kesejahteraan penduduk ini tanpa mengikis kehidupan dan kearifan budaya lokal
yang mereka terapkan. Salah satu solusi yang diterapkan yaitu hutan kemasyarakatan yang diatur di bawah
kementerian kehutanan. Upaya pemerdayaan masyarakat hutan ini memiliki tujuan
besar yaitu adanya keharmonisan dan keselarasan dalam pengelolaan secara
terpadu, baik dari unsur masyarakat, pemerintah, dan ekosistem hutan itu
sendiri.
Untuk mewujudkan
tujuan mulia tersebut, tentu perlu adanya kerja sama yang apik dari berbagai
pihak-pihak yang berkepentingan. Mulai dari pemerintah sebagai pengambil
kebijakan dan memberikan aspek legalitas, masyarakat hutan yang menggantungkan
hidupnya pada hutan dan memanfaatkannya, kajian ekosistem hutan dari
lembaga-lembaga independen seperti lembaga penelitian, LSM, dan kalangan
akademisi. Komponen-komponen tersebut harus bisa bersinergi di segala aspek.
Hutan kemasyarakatan
merupakan persoalan kompleks
yang di dalamnya terdapat komponen seperangkat
aturan dan hukum, manusia sebagai pelaksana, dan hutan. Apalagi yang akan
banyak langsung bersentuhan adalah masyarakat sekitar hutan. Mereka memiliki
keterikatan yang kuat terhadap hutan, mulai dari sebagai sumber mata pencaharian,
ikatan sosial, budaya, dan ekologis. Dalam penanganannya tak bisa dengan
pendekatan parsial seperti yang terjadi pada perkebunan dan pertanian.
Keuntungan dan manfaat
Bagi masyarakat,
bisa mengelola kawasan hutan yang mampu menopang kesejahteraan hidupnya.
Pilihan mata pencaharian disesuaikan dengan daya dukung hutan itu sendiri
sehingga keseimbangan ekologi hutan tetap terjaga dan lestari. Dengan
tercukupinya kehidupan mereka, akan terbina hubungan yang baik dengan berbagai
pihak (pemerintah maupun swasta). Bagi pemerintah, akan berdampak pada keamanan
kehidupan di kawasan hutan dan adanya kontribusi tak langsung dari masyarakat
baik secara swadaya dan swadana dalam merehabilitasi kawasan hutan. Bagi hutan,
terpeliharanya keanekaragaman hayati, fungsi ekologis, terjaganya flora fauna
yang hidup di dalamnya.
Bentuk nyata hutan kemasyarakatan
Kawasan hutan
yang bisa dikelola oleh masyarakat, antara lain: kawasan hutan produksi, hutan
lindung, dan kawasan konservasi pada zona pemanfaatan di hutan raya dan wisata.
Pengelolaan hutan dalam hal ini mengakomodir semua elemen masyarakat. Dari
sudut pandang masyarakat hutan tradisional memandang hutan sebagai orang tua
sehingga pemanfaatannya tergantung dari kemurahan alam, misalnya berburu,
mengambil buah-buahan dan hasil hutan lainnya. Sedangkan dari sudut pandang
pelaku bisnis yang memandang sebagai alat produksi. Jadi, wujud nyata yang
langsung bisa dirasakan dari kebijakan pemberdayaan masyarakat ini, antara
lain: hak pengelolaan areal hutan dengan luasan yang sudah ditetapkan untuk
menghasilkan produk-produk hutan tertentu sesuai dengan kondisi alamnya.
Misalnya saja, pengelolaan areal seluas 4 hektar hutan tanaman pinus untuk
menghasilkan produk gondorukem. Contoh lainnya, areal seluas 4 hektar hutan alam
untuk menghasilkan karet alam dan rotan.
Tantangan nyata hutan kemasyarakatan
Aspek legalitas
masih menjadi kendala dalam penerapan secara menyeluruh pemberdayaan
masyarakat. Padahal, kebutuhan hidup masyarakat hutan terus bergulir dan
mengalami perkembangan di segala aspek. Ketertundaan aspek legalitas yang
kerapkali terjadi di pihak pengambil kebijakan sering berimbas pada masyarakat
hutan. Tak perlu heran bila terkadang terjadi kondisi keamanan kawasan hutan
yang rawan konflik. Terutama dalam rencana areal kawasan yang akan dikelola.
Mengingat hutan kemasyarakatan adalah pengelolaan
hutan berbasis manajemen modern, tak ada penitikberatan dalam satu aspek.
Misalnya saja, hanya aspek ekologi semata, aspek ekonomi saja, atau aspek
budaya saja. Semua akan diramu dan diakomodir dengan pengelolaan hutan dengan
penerapan manajemen yang tertata apik dan bisa memuaskan semua pihak. Kendala
klaim-klaim yang kerapkali terjadi secara sepihak ini yang harus direduksi dan
dihilangkan.
Kendala lainnya,
misal adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti dalam penyusunan
rencana, tata usaha pemanfaatan, pengamanan areal, laporan kerja pemanfaatan
yang masih dipandang memberatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat hutan.
Kendala-kendala lainnya masih banyak sesuai dengan permasalahan lokal pada
kawasan hutan yang akan dikelola.
Toh, walau
tantangan dan kendala masih menghadang, kebijakan hutan kemasyarakatan layak terus ditindaklanjuti oleh berbagai
pihak. Apalagi dinamika masyarakat hutan berkembang sangat cepat dan bisa tak
terkendali. Sedangkan, kawasan hutan memiliki luasan yang tetap secara hukum
dan cenderung menyempit berdasarkan perubahannya.
Hutan kemasyarakatan
merupakan persoalan yang penuh dinamika dan kompleksitas. Semua pihak harus
bisa berpacu untuk mewujudkan kesejahteran bersama. Dipandang secara luas,
pemberdayaan masyarakat hutan menjadi solusi yang tepat sasaran untuk mengatasi
taraf hidup mereka yang masih di bawah rata-rata kebanyakan masyarakat
Indonesia. Bila dikelola dengan baik dan saling sinergi, kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat hutan bisa terwujud dalam waktu singkat. Asalkan,
masing-masing pihak bisa memberikan kerja nyata yang signifikan.
0 komentar:
Posting Komentar