Bukan tingginya gunung menjulang di depan sana yang membuatmu rusak, namun
kerikil-kerikil di bawah sepatumu- lah yang menghabisimu... —Mohammad Ali .
Sejak masih
muda, lelaki kerempeng berusia lima puluh dua tahun ini memiliki hobi naik
gunung. Semasa masih kuliah ia ikut Silvagama, organisasi mahasiswa pecinta
alam Fakultas Kehutanan. Hampir semua gunung di Jawa dan Sumatera telah
ditundukkannya. Seperti yang ia ceritakan dalam sebuah wawancara, meski postur
tubuhnya paling kecil di antara teman-temannya, ia selalu sampai di puncak
lebih dulu dibandingkan teman-temannya. Tentu saja bukan karena postur tubuhnya
yang kecil sehingga bisa bergerak lebih cekatan. Bukan pula karena sepatu dan perlengkapan
naik gunung yang dibawanya. Hasrat kuat untuk melihat dunia dari tempat paling
tinggi itulah yang membawanya ke puncak. Kita tak tahu kecamuk kepala macam apa
ketika ia melihat kehidupan di bawah dari tempat paling tinggi, di antara
langit dan awan-awan...
Dua puluh
tahun kemudian, lelaki yang akrab disapa Jokowi ini kembali naik gunung. Namun
bukan gunung dalam pengertian yang sebenarnya. Gunung yang didakinya sekarang adalah
gunung kekuasaan politik. Jenis gunung yang bisa membuat seorang tanpa nama
memeroleh kemasyhuran tiada tara; juga gunung yang memiliki kuasa menyulap
orang terhormat menjadi yang paling laknat. Gunung kekuasaan pertama, adalah
jabaan walikota Solo atau Surakarta, telah didakinya dua kali. Lalu muncul
gunung kedua: Jabatan Gubernur di pusat kekuasaan negeri ini—Jakarta. Dari
seorang yang boleh dikatakan anonim di belantara ibukota negara yang ganas, ia
mendakinya tanpa keraguan, dan berhasil. Puja-puji menghampirinya dari hampir
segenap lapisan masyarakat.
Hampir dua
tahun ia berada di puncak kekuasaan Jakarta sebelum pesta lima tahunan negeri
ini menantangnya untuk mendaki gunung kembali. Kini bukan sembarang gunung. Bahkan
mungkin gunung-gunung yang pernah didakinya semasa mahasiswa tak seberbahaya
gunung yang satu ini. Inilah gunung kekuasaan paling menantang sekaligus paling
mengerikan yang pernah melahirkan puja-puji dan caci maki bagi yang coba-coba
mendakinya. Ia bukan tipe pengecut yang suka menghindar dari sebuah tantangan.
Sejak di Silvagama hampir tiga puluh tahun lalu ia dididik memiliki jiwa
seorang pendaki yang tak boleh mundur dari tantangan atau ancaman sebuah
gunung. Malah mungkin sebaliknya. Lewat gunung kekuasaan paling tinggi
inilah—jabatan presiden—ia ingin
membuktikan misteri dari setiap perasaan dan gejolak benaknya kala telah sampai
di puncaknya.
Saya tidak
akan membicarakan pendakian gunung yang dilakukannya lewat hal-hal besar yang
menggetarkan: lobi elite politik yang canggih dan elegan, pertunjukan kekuasaan
yang akbar, dan menyihir rakyat hanya sebatas penonton dari aksi teatrikalnya
yang ambisius. Sebaliknya, sesuai dengan karakter lelaki yang akrab dipanggil
Jokowi ini, saya akan berbicara pendakiannya lewat kisah alas kaki atau sepatu
yang dipakainya dalam pendakian. Seorang pemikir Amerika Latin yang akhir-akhir
ini sedang berjuang menghadapi penyakit kanker pernah mengatakan bahwa seorang
penulis hebat mesti bisa menemukan hal-hal kecil yang tidak pernah dilihat
orang sebelumnya, hal-hal yang seringkali diremehkan oleh para intelektual kita
yang sudah begitu terperangkap pada konsep-konsep besar dan tak operatif pada
situasi dan kondisi terkini. Hal-hal kecil yang ia temui di lapangan ini
menjadi alat untuk meneropong misteri kehidupan ini, teruama misteri dari
kepedihan orang-orang miskin dan masyarakat yang ia temui.
Saya belum
tahu sepatu apa yang dipakainya saat menaklukkan gunung demi gunung di Jawa dan
Sumatera semasa masih menjadi mahasiswa. Di tahun 80-an, perlengkapan mendaki
gunung belum selengkap dan semodern sekarang. Namun yang paling jelas, sebagai
seorang pendaki ia mesti memilih jenis sepatu yang memiliki kemampuan untuk
mencengkam tanah atau bebatuan yang diinjaknya, jenis sepatu yang tak membuat
seorang pendaki mudah terpeleset oleh tanah becek atau bebatuan licin. Ia harus
menautkan sol sepatunya dengan rumput, kerikil, bebatuan, atau lumpur yang ada
di bawah telapak kakinya. Gagal menautkan sol sepatu dengan permukaan tanah
atau bebatuan sama saja dengan membuat dirinya terancam terpeleset, jatuh ke
jurang, atau terbentur batu.
Dua puluh
tahun setelah meninggalkan kampus dan tak lagi mendaki gunung riil, ia
ditantang untuk mendaki gunung kekuasaan di kotanya: ia didorong-dorong menjadi
walikota Solo. Belajar dari kebiasaan mendaki gunung semasa kuliah dulu, ia
memperhitungkan dengan baik jenis sepatu yang akan dipakainya untuk melakukan
pendakian. Dalam pengertian riil, ia tak akan memakai sepatu mahal dan berkilat
yang akan mempersulitnya dalam inspeksi ke berbagai ruang kota Solo yang saat
itu masih sangat semrawut dan tak tertata. Rakyat yang ia pimpin akan menjaga
jarak kalau ia memakai busana dan sepatu yang mentereng. Ia tahu benar
keseimbangan posisi politiknya ditentukan oleh rakyat yang ia pimpin. Sama
seperti pengalaman mendaki gunung Slamet, Semeru atau pun Kerinci, ia harus
menggunakan sepatu yang membuat kakinya terpacak kuat ke bumi meski jalan yang
dilalui terjal. Pertimbangan ini yang membuatnya memakai sepatu sepatu-sepatu
tak bermerk murahan. Tidak jarang ia memakai sepatu itu sampai bolong-bolong di
beberapa bagian. Solnya diganti beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar tak
bisa diperbaiki lagi.
Kebiasannya
dalam memakai sepatu—dan baju serta celana murah—ini sama dengan yang dilakukan
oleh para pemimpin dunia yang masyhur karena kesederhanaannya. Di belahan dunia
Arab, kita mengenal sosok Ahmadinejad di Iran. Dalam kasus Ahmadinejad, kita
menemukan sosok pemimpin yang kesederhanaannya lebih ekstrem. Penampilannya
jauh dari menarik untuk dijadikan gosip, apalagi jadi selebriti. Rambutnya
kusam seperti jarang menggunakan shampoo. Dan sepatunya hanya satu, bolong
disana-sini mirip alas kaki tukang sapu jalanan di belantara Jakarta. Di
belahan Amerika Latin, kita mengenal sosok presiden Mujica di Uruguay, Fernando
Lugo di Paraguay, Hugo Chavez di Venezuela, Fernando Correa di Ekuador, atau
bahkan Fidel Castro di Kuba. Sebarisan pemimpin politik tertinggi di Amerika
Latin itu memiliki cara hidup yang hampir sama dengan Ahmadinejad: memakai
sepatu murahan dan cara hidup sederhana untuk mengenal denyut nadi lapisan
masyarakatnya yang paling tertindas.
Berbekal
sepatu murahan itu, Jokowi membangun hubungan batin dengan warga Solo. Ia
memasuki pasar-pasar, keluar masuk gang dan jalan becek atau berlubang di
seluruh Solo, menyusuri bantaran Bengawan Solo, bertemu dengan warga desa dan kotanya
yang paling miskin. Sepatu yang sampai jebol-jebol itu mengantarkannya
menyaksikan dunia mikro yang ia percayai bisa menyuplai kebenaran dari semesta persoalan
yang disembunyikan oleh angka-angka dan kategori BPS yang terlalu suka menjilat
atasan dan menyesatkan. Dari sana pula ia menyulap Solo dari kota yang semrawut
sampai menjadi kota yang tertata dan nyaman ditinggali oleh warganya. Di tengah
iklim politik yang mendorong para elite untuk menumpuk kekayaan ia justru
menjadi juru bicara tak mengenakkan bagi kemiskinan di Solo. Tak seperti
LSM-LSM dan donor-donor yang menjual kemiskinan untuk untuk kepentingan dirinya
sendiri, ia menyaksikan wajah kemiskinan di Solo dan kemudian berusaha
merubahnya. Jaminan kesehatan dan pendidikan diberikan. Hypermart dibatasi.
Sebaliknya, pasar tradisional dihidupkan dengan berbagai sarana pendukung.
Pedagang kaki lima ditata lebih baik serta diberi suntikan modal sehingga
pengunjung Solo meningkat setiap tahunnya.
Kisah
pendakian kekuasaannya berlangsung sukses lima tahun kemudian. Dalam pemilihan walikota, ia tak
perlu memasang poster, baliho, atau kampanye yang berisik untuk terpilih
kembali. Sepatunya berhasil menundukkan gunung kekuasaan di kota kelahirannya.
Kisah keberhasilannya iu bahkan dilansir berbagai media hingga mendapatkan
ganjaran penghargaan inernasional. Partai pengusungnya, PDI-P, yang tertarik
dengan memintanya mendaki gunung kekuasaan yang lebih tinggi: Jabatan Gubernur
di Jakarta. Ia tak tahu apakah ini tantangan atau ancaman. Tujuh tahun
membenahi kota Solo membuatnya melupakan kemewahan dan kesenangan diri dan
keluarganya. Tangan dan kakinya telah terikat secara kuat dengan nasib
orang-orang yang tak beruntung. Bagaimana ia bisa menolak tawaran agung dari
Tuhan untuk menyambungkan batinnya terus menerus dengan massa rakyat tertindas?
Sebagai pemain
politik yang relatif baru, ia hampir menjadi bahan tertawaan ketika bersaing
dengan kontestan-kontestan lain di Jakarta yang dibualkan lebih berpengalaman.
Namun tanpa diduga, dalam putaran pertama ia meraih suara terbanyak. Masuk ke
putaran kedua, gubernur petahana yang angkuh, Fauzi Bowo berhasil
dijungkalkannya. Proses kemenangannya dalam pilkada di Jakarta itu mirip dengan
kisah kemenangan Ahmadinejad dalam pemilu Iran di tahun 2005. Pada 24 Juni 2005
Ahmadinejad menjadi bahan pembicaraan seluruh dunia, karena berhasil menjadi Presiden
Iran setelah mengalahkan para mullah, ulama, dan
militer
revolusi yang menyalonkan diri dalam pemilihan umum. Awalnya ia sangat tidak
diperhitungkan. Tapi rakyat Iran yang cenderung cerdas dan memiliki kesadaran,
mempunyai rencana dan harapan lain. Tanpa diduga Ahmadinejad berhasil memenangi
pemilu dengan 61% suara, jauh di atas Rafsanjani yang hanya memperoleh 35%.
Setelah
memenangkan pertarungan memperebukan kursi Gubernur, Jokowi kembali mengenakan sepatu-sepatunya
yang bolong di sana-sini untuk mendekati berbagai lapisan masyarakat. Sepatu
tanpa merk atau dengan merk murahan itu yang membawanya keluyuran memasuki
jalanan dan gang desa dan kota, keluar-masuk pasar, menyelinap di antara
pemukiman-pemukiman miskin serta bertemu dengan anak-anak muda dan orang-orang
yang merindukan perubahan nyata. Kelompok kaum miskin kota Jakarta-lah yang
memandunya menyaksikan wajah lain ibukota yang dari kotak televisi dipenuhi
oleh kehidupan glamor artisnya, kemewahan sekaligus ke-ugal-ugal-an para elite
politiknya, dan ritme kerja orang-orang kantorannya yang tinggi.
Dalam kuliah
umum di Universitas Pasundan setahun lalu, Jokowi menunjukkan darimana ia
melihat peta slum are atau pemukiman kumuh di Jakarta: “Ada 360 slum area di Jakarta raya. Dari lantai 40-60 Gedung-gedung
Soedirman-Thamrin orang bisa melihat semua slum area itu. Kita bisa melihat
kawasan kumuh yang membikin hati kita menangis. Setiap hari saya menyaksikan
itu semua untuk menghidupkan mata batin dan mata spiritual saya,” ujarnya.
Maka begitu
sampai di puncak kekuasaan, sepatu-sepatu jebol yang dipakainya membongkar
laporan palsu kemiskinan yang dibuat oleh BPS. Sewaktu pertama datang ke
Jakarta ia bertanya berapa banyak penduduk miskin di Jakarta ia mendapatkan
angka orang miskin 3,8% sedangkan yang rentan miskin 37%. Tapi ketika ditanya
apa bedanya miskin dan rentan miskin tak ada yang bisa menjawab. Ia tahu
angka-angka tersebut adalah istilah-istilah semu yang diciptakan karena kita
takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Sebagian besar anggaran pembangunan
itu jatuhnya pada orang-orang berpunya. Itu sebabnya ketika kita membukanya ke
publik, akan kelihatan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan rakyat
miskin akan tampak mengerikan.
Sebagai
solusinya, ia memberikan 60-70% anggaran pemprov diberikan pada usaha untuk
memberantas kemiskinan, menyediakan infrastruktur yang membuat mereka bisa
bertempur dan menundukkan kemiskinan yang menderanya, dan menjadikan Jakarta
sebagai rumah bagi semua orang, bukan rumah hanya bagi beberapa orang berpunya
saja. Pekerjaan ini membutuhkan ketekunan. Dan kadang-kadang membutuhkan
perjuangan yang tak selamannya bisa dijelaskan pada wakil rakyat yang tak
pernah bersenuhan tangan langsung dengan rakyatnya sendiri. Dalam sebuah
wawancara dengan stasiun ABC Australia, ia mengungkapkan bahwa “Selama tiga
puluh tahun, hampir tak ada perhatian serius yang diberikan pada rakyat
miskin.” Karena pilihannya ini, ia harus rela dengan resiko akan dimakzulkan
oleh wakil-wakil rakyat di DPRD Jakarta yang tak pernah suka dengan
keberhasilan program-programnya.
Kini, begitu
lelaki yang tak begitu pandai bicara itu bersiap-siap mendaki gunung kekuasaan
paling tinggi dalam hidupnya, bisa jadi ia menemukan kebenaran seperti yang
dikatakan oleh petinju legendaris Muhammad Ali. Bukan tingginya kekuasaan yang
akan menghempaskannya suatu hari nanti, namun karena kerikil-kerikil yang ada
di antara sol sepatu itulah yang akan menghempaskannnya. Bagaimana pun sepatu
adalah benda mati. Kaki yang berada di dalam sepatu itu harus bisa membuat
kerikil-kerikil itu tak menjatuhkannya. Dalam pandangan saya, kerikil-kerikil
di sol sepatunya adalah rakyat jelata dan kelompok-kelompok masyarakat yang
tertindas yang banyak berharap padanya.
Agar tak
terpeleset, ia mesti mempertahankan jenis sepatu yang dipakainya sejak mengurus
Solo dan Jakarta. Ia tahu bagian terbesar penduduk negeri ini adalah kaum
miskin. Sepatu yang siap keluar masuk bahkan ke ruang-ruang pengap dan bau,
sepatu yang membuatnya bisa bertemu dan memberikan buku pelajaran pada
anak-anak yang terlanjur dicap tak berpengharapan; sepatu yang mengantarnya
pada waduk dan sungai tak terurus, pasar-pasar tak terawat, daerah-daerah
terpencil yang masih membutuhkan uluran tangannya. Pendeknya sepatu yang tak pernah ditolak ketika hendak
bertemu dengan jenis manusia dan tempat yang tak pernah mencicipi kue
pembangunan yang selama ini membesarkan perut segelintir orang dan
tempat-tempat tertentu.
Saya bahkan
terlanjur bermimpi, kalau nanti berada di puncak gunung tertinggi sebuah
kekuasaan politik, ia akan bisa meneladani apa yang dilakukan oleh Ahmadinejad
di Iran. Ia akan lebih sering mengadakan rapat dengan para menterinya untuk
mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sudah dilakukan dan
menanyakan kontribusi nyata yang telah diberikan setiap menterinya kepada rakyat
Indonesia. Ia memperpendek—kalau perlu menghilangkan—protokoler istana sehingga
para menteri dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa hambatan. Ia juga
menghentikan kebiasaan karpet merah maupun sesi foto, yang mencerminkan sikap
berlebihan saat mengunjungi rakyatnya di berbagai wilayah negaranya.
Seperti
kebanyakan orang tak beruntung di negeri ini, saya tak pernah lelah berharap
bahkan setelah ia berada di dalam istana, ia masih tetap memakai sepatu
murahnya...
ini yang aku cari, makasih gan artikelnya.
BalasHapussharing juga ni, dengar-dengar blog jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia adalah blog baru yang cukup bagus menyediakan referensi seputar pertanian, sesuai dengan namanya jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia memang tidak hanya membahas teori saja, namun infonya juga bersifat aplikatif, karena itulah kadang juga saya mengunjunginya DISINI>> jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia