Home » , » PRODUK DOMESTIK BRUTO SEKTOR KEHUTANAN DALAM PERSPEKTIF PENDAPATAN NASIONAL BERKELANJUTAN

PRODUK DOMESTIK BRUTO SEKTOR KEHUTANAN DALAM PERSPEKTIF PENDAPATAN NASIONAL BERKELANJUTAN

Lebih dari 20 tahun, politik pembangunan ekonomi Indonesia menekankan pada eksploitasi sumberdaya alam untuk pembiayaan pembangunannya (Warsito, 1994). Penerimaan dari produksi ekstraksi tambang (berua minyak, gas, dan mineral) dan hasil hutan terutama kayu, telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembiayaan pembangunan dan pengeluaran rutin. Nilai ekspor nasional industri hasil hutan (plywood, furniture dan pulp) meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar $200 juta (dua ratus juta dolar AS) per tahun pada sekitar tahun 1980 menjadi lebih dari $9 milyar (sembilan milyar dolar AS) per tahun pada tahun 1990-an.
Pada tahun 1997, saat Indonesia mulai mengalami krisis ekonomi, total output dari aktivitas kehutanan adalah sekitar $20 milyar (dua puluh milyar dollar AS) atau sekitar 10% dari GDP Indonesia (World Bank, 2001). Sektor pertambangan mineral (emas, perak, tembaga, nikel, timah dan batubara) memberikan kontribusi sebesar 8,2% dari penerimaan ekspor Indonesia tahun 1996, 7,9% tahun 1997 dan 14,0% tahun 1998. Selama beberapa periode tahun 1996 sampai dengan tahun 1998 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat 7% dan GDP per kapita (berdasar harga konstan 1995) naik dari sekitar $ 248/kapita pada tahun 1960 menjadi $ 1.011/kapita pada tahun 2001 (WDI, 2002). Beberapa indikator ekonomi makro lainnya menunjukkan hal yang relatif sama, yaitu angka kemiskinan turun dari 70% pada tahun 1965 menjadi 11% pada tahun 1996 dan tingkat inflasi berada pada tingkat dibawah 10% (Lubis, 1997).
Indikator ekonomi yang sekilas nampaknya cukup baik tersebut, dilain pihak ternyata diikuti dengan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam yang digunakan untuk penciptaan pendapatan nasional itu sendiri, serta degradasi lingkungan. Dalam periode tersebut, terjadi pengurangan luas hutan di Indonesia rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun. Angka tersebut telah melebihi taksiran tingkat deforestrasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara
----------------------------
*) Paper dipresentasikan dan didiskusikan dalam Seminar Mengukur Perhitungan Produk Domestik Bruto, Kementrian Kehutanan RI di jakarta 28 April 2011. Paper ini merupakan editan paper penulis yang sama, yang didiskusikan dalam Semiloka PDRB Hijau di Universitas Sriwijaya bekjerjasama dengan PT Sinar Mas, Palembang tanggal 12 April 2011
**) Sofyan P.Warsito, Ph.D, adalah staf akademik Fakultas Kehutanan UGM, Lab Ekonomi Sumber Daya Hutan.


0,6–1,3 juta hektar per tahun (World Bank, 1994). Kerusakan lahan akibat pertambangan mencapai 59.090 ha dan baru seluas 7.743 ha yang telah direklamasi (Lubis, 1997). 
Berdasarkan pengalaman pembangunan ekonomi yang terjadi di kebanyakan negara sedang berkembang, pada dekade terakhir ini banyak negara mulai memikirkan tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemikiran ini berdasar pada laporan Burndtland Commission tahun 1987 yang menyatakan bahwa pilihan pembangunan saat ini dengan eksploitasi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan, dimungkinkan akan mengurangi kualitas kehidupan generasi mendatang (World Bank, 1997). Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Konferensi Rio de Janeiro tahun 1992 yang menyarankan tentang perlunya indikator untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan dan atau memelihara kekayaan. Kekayaan (wealth) dalam konteks ini adalah mencakup aset produksi, sumber daya alam, kualitas lingkungan dan sumberdaya manusia yang seharusnya digunakan sebagai indikator pembangunan. Sampai sejauh ini, instrument untuk menilai keberhasilan pembangunan di Indonesia yang selama ini digunakan adalah Pendapatan Nasional, Domestik Bruto (PDB).
Demikian halnya di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Indikator kinerja pembangunan yang digunakan adalah berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).  Namun pada kenyataannya indikator nilai PDB maupun PDRB ini belum mampu mencerminkan hakekat tujuan pembangunan yang diharapkan dan tidak dapat dipakai untuk mengetahui tingkat keberlanjutan (sustainability) pembangunan, karena belum memasukkan unsur deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Itulah sebabnya PDB dan PDRB belum dapat digunakan untuk mengetahui pola (pattern) keberlanjutan pembangunan suatu Negara/daerah.
Salah satu indikator yang dianggap lebih mampu memberikan gambaran tingkat kesejahteraan yang sebenarnya dan relatif lebih mampu memberikan gambaran keberlanjutan pembangunan perekonomian, adalah apa yang dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto Hijau (PDBH) pada tingkat nasional dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Hijau (PDRBH) pada tingkat regional. Indikator ini dianggap lebih mampu menggambarkan keberlanjutan pembangunan suatu wilayah karena telah memasukkan unsur nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam pendekatan perhitungannya.
Berdasarkan berbagai kondisi seperti diuraikan tersebut dimuka, penerapan PDBH/PDRBH sebagai indikator pembangunan di Indonesia adalah perlu untuk dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan bahwa peningkatan Gross Domestic Product (GDP) dari sebesar 1.280 trilyun rupiah pada tahun 2000 menjadi sebesar ± 1.480 trilyun rupiah pada tahun 2001 ternyata pada periode yang sama terjadi pengurangan stock (sediaan) sumber daya alam, antara lain perngurangan luas areal hutan ± 1,6 juta hektar per tahun, emisi karbon sebesar 296 juta ton per tahun, dan eksploitasi sumberdaya alam seperti minyak, emas, tembaga, nikel, batubara dan lain sebagainya (World Bank, 2001).
Pendapatan Nasional (termasuk Produk Domestik Bruto) adalah merupakan salah satu indikator kemajuan perekonomian yang menunjukkan capaian pendapatan finansial dari setiap sektor usaha yang juga merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan setiap unit usaha perekonomian. Termasuk di dalamnya adalah pendapatan usaha yang diperoleh unit-unit pengusahaan hutan dalam satu tahun, baik hutan tanaman maupun hutan alam. Dengan mengabaikan indikator perekonomian lainnya, terdapat asumsi bahwa semakin Tinggi pendapatan Nasional suatu Negara, adalah didambakan karena semakin tinggi pula tingkat kemakmurannya.

Pendapatan (income) dan Kekayaan (aktiva)
Secara matematis, Pendapatan Nasional Bruto (PNB dan PDB) sebenarnya sama dengan jumlah pendapatan seluruh penduduk suatu Negara dalam setahun. Jadi, kalau pendapatan setiap individu penduduk Indonesia dalam tahun tertentu dijumlahkan, akan sama dengan PNB atau PDB. Dalam praktek Kalau data angka PNB atau PDB dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia dalam tahun yang sama akan ditemukan angka pendapatan rata-rata per-kapita. Dikarenakan tingkat pendapatan juga merupakan salah satu indikator perekonomian, pembangunan ekonomi juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Dalam praktek, pendekatan untuk memperkirakan pendapatan Nasional digunakan beberapa macam metoda. Yang bertugas untuk perhitungan pendapatan nasional adalah Biro Pusat Statistik (BPS).
Selain pendapatan, ada lagi indikator perekonomian lainnya yakni kekayaan (asset atau aktiva). Nilai Aktiva (kekayaan) yang dimiliki oleh badan usaha, pemerintah maupun private individual adalah merupakan pasangan komplementer Pendapatan, karena asset adalah sumber daya yang menghasilkan pendapatan. Semakin kaya seseorang (perusahaan, maupun Negara) semakin tinggi juga harapan pendapatan yang diperolehnya. Sebaliknya, apabila kekayaan (aktiva) semakin rendah, semakin rendah pula pendapatan yang bisa diperoleh. Jadi boleh dikatakan bahwa pendapatan adalah fungsi kekayaan. Sebaliknya, semakin tinggi pendapatan seseorang, badan, atau pemerintah, akan memungkinkan semakin kaya, apabila mampu menyisakan dari konsumsi yang diperlukan (tidak habis dikonsumsi).
Sebaliknya, apabila sebagian aktiva yang ada kemudian terus menerus diambil untuk kepentingan konsumsi, maka nilai aktiva yang dimilikinya akan menurun, yang berlanjut ke arah penurunan pendapatan, yang disebut sebagai bergerak kearah yang lebih miskin. Negara kaya, sebenarnya bukanlah Negara yang hanya berpendapatan tinggi, melainkan juga Negara yang memiliki asset yang juga tinggi. Negara bisa berpendapatan tinggi, tetapi apabila pengeluaran belanja rutin yang harus dibayarnya lebih besar dari perolehan pendapatannya, maka harus ditutup oleh cadangan aktiva yang  tersedia. Apabila hal tersebut terus menerus terjadi maka seluruh aktiva akan habis (miskin).
Dalam unit ekonomi (Nasional, Badan Usaha, maupun Private Individual) aktifitas perekonomian didukung oleh dua kelompok besar Sumber Daya (Aktiva) Ekonomi, yakni aktiva yang berupa sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). SDA itu sendiri terdiri dari (1) SDA dalam arti sempit (yaitu SDA yang masih dalam bentuk, sifat, dan lokasi deposit aslinya) maupun (2) SDA yang sudah berubah lokasi maupun bentuk dan sifatnya (juga disebut sebagai man–made capital atau MMC). Kekayaan Negara adalah nilai seluruh SDA yang dimiliki yang adalah merupakan jumlah nilai SDA maupun MMC dimaksud.
Indonesia, sebagai Negara yang pendapatan ekonominya masih sangat tergantung kepada SDA (natural resources dependent country atau NRDC) adalah contoh ekstrim, bahwa capital (sumber daya) untuk memperoleh pendapatan nasional (bukan hanya pendapatan pemerintah saja) adalah dihasilkan dengan cara ekstraksi sumber daya alam baik yang terbarukan (sektor kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan dsb) maupun yang tidak terbarukan (sektor pertambangan) pada level yang paling primer (hulu).
Sebagai NRDC, tingkat pendapatan nasional yang dicapainya, sangat tergantung kepada derajat ekstraksi yang dilaksanakan Negara ini. Semakin besar ekstraksi sumber daya alam yang dilaksanakan, akan semakin tinggi pula anggapan tentang pendapatan nasional yang diperolehnya. Bisa dimaklumi bagaimana di masa orde baru Indonesia menggalakkan roda perekonomiannya dengan cara ekstraksi besar-besaran terhadap hutan (untuk memperoleh pendapatan dari hasil hutan kayu) dan minyak bumi. Kemudian, saat ini juga bisa dijumpai perkembangan yang pesat terhadap ekstraksi barang tambang yang berupa mineral dan batubara. Di banyak daerah, bisa ditunjukkan bagaimana pemerintah menggalakkan perolehan pendapatan dari sektor pertambangan besar-besaran. Semakin tinggi fisik maupun nilai produk tambang yang diekstrak dari depositnya dianggap sebagai yang semakin baik. Tidak disadari, bahwa pengurasan (ekstraksi) SDA terutama yang tak terbarukan, akan berarti merupakan pengurangan stock dalam depositnya, yang suatu saat akan habis. Nantinya, pada saat deposit seluruh unit pertambangan habis, maka pada saat itu pula akan tidak ada lagi arus pendapatan yang bisa diperoleh dari ekstraksi deposit tambang. Beberapa Negara bisa dijadikan contoh (negeri Solomon misalnya) ketika tambang kuningan diekstrak habis-habisan, negeri ini cukup kaya yang kemudian kembali relatif miskin setelah deposit tambang kuningan yang dimilikinya habis (Repetto, 1990). Nah, jadi apa yang bisa dikaji dari kejadian tersebut.


Kriteria Kelestarian Pembangunan Ekonomi
Perekonomian dianggap lestari (sustainable) apabila kondisi stock SDA miliknya sepanjang tahun adalah tidak menurun, agar pendapatan yang diperoleh dari SDA yang ada adalah juga lestari. Dalam aturan akuntansi, seluruh badan usaha diwajibkan untuk membuat laporan pada setiap akhir tahun kerja usahanya, yakni berupa laporan neraca aktiva (balance sheet statement) dan laporan laba rugi (income statement). Kekayaan (aktiva) suatu badan usaha maupun prifat dikatakan sebagai yang meningkat (semakin kaya), adalah apabila indikator nilai aktiva di akhir tahun menunjukkan angka yang lebih besar daripada nilai aktiva di awal tahun dalam tahun yang sama, yang adalah semakin miskin apabila sebaliknya.
Kinerja perekonomian akan semakin membaik, apabila seluruh penerimaan (revenue) yang diperoleh tidak seluruhnya digunakan untuk keperluan konsumsi rutin, tetapi sebagian ada yang digunakan untuk (1) investasi (memperbesar aktiva),  dan (2) untuk mengganti aktiva yang aus atau rusak (depresiasi), serta sisanya untuk (3) dinikmati dalam bentu konsumsi (belanja rutin termasuk pembayaran gaji dsb).
Negara sebagai lembaga yang memiliki asset dan income, semestinya juga memberlakukan pelaporan seperti yang dilakukan badan-badan usaha ataupun perseorangan, yakni melaporkan tentang nilai stock asset di awal dan akhir tahun serta pelaporan tentang rincian arus pendapatan neto keuangan Negara. Sebenarnya Pemerintah selama ini juga memiliki data kekayaan Pemerintah, namun tidak memiliki data kekayaan di sektor SDA yang masih berada dalam stock aslinya (deposit tambang, stock tegakan hutan, stock ikan dsb). Akibatnya, kekayaan Negara yang nampak adalah seolah hanya berupa asset yang non aktiva SDA aslinya. Dalam laporan tiap tahun oleh Badan Pusat Statistik dikenal juga angka depresiasi capital, tetapi baru berupa SDA yang sudah menjadi man-made capital (barang modal) saja, belum memasukkan angka stock SDA yang masih berupa stock di alam (baik hutan maupun tambang). Stok kayu produksi hasil hutan kayu misalnya dalam system akuntansinya, seluruh unit produksi hanya melaporkan tentan stock produksi kayu yang sudah ditebang dan sudah diangkut tempat penimbunan kayu (TPK), stock tegakan yang ada di hutan tidak diwajibkan untuk dilaporkan, termasuk juga yang diberlakukan di BUMN Kehutanan. Juga dalam laporan keuangan di sektor pertambangan, yang dalam system akuntansinya hanya melaporkan stock di tempat penimbunan produksi, tidak mencakup stok deposit tambang yang ada dalam areal tambangnya.
Sebagai akibat sistem akuntasi seperti itu (tidak mencakup pelaporan stock deposit SDA), maka pelaporan yang dibuat pada tingkat nasional tidak akan mampu menunjukkan arah kelestarian perekonomian Negara. Perhutani misalnya, bisalah kaya raya karena pendapatan dari sektor produksi kayu per tahunnya misalnya besar. Tetapi dikarenakan stok tegakan hutan sebagai penghasil kayu tidak diketahui, bisa saja dalam tahun yang sama telah terjadi penurunan aktiva stok aktiva berupa volume (dan nilai) tegakan hutan sebagai sumber utama pendapatan perusahaan ini. Apabila itu terjadi, tentu nilai laba yang dilaporkan perusahaan harus dikurangi nilai volume tegakan yang terdeplesi (depleted atau depreciated) tersebut. Kalau tidak dikoreksi, maka pendapatan perusahaan akan terus menurun sejalan perjalanan waktu sehubungan dengan penurunan aktiva tegakan hutan (Sumber Daya Hutan) sebagai penghasil pendapatan utama mereka.
 Sebagai contoh berat lagi, adalah pendapatan nasional dari sektor kehutanan yang dihasilkan oleh ekstraksi kayu bundar di masa orde baru. Dalam periode Orde Baru, hutan alam tropic Indonesia menghasilkan pendapatan nasional yang cukup besar melalui produksi tebangan yang dihasilkannya, dan sering dibanggakan oleh lembaga pengelola kehutanan saat itu, bahwa pembangunan kehutanan berperanan cukup besar dalam pembangunan. Mungkin betul itu, sektor kehutanan menyumbang besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, sayangnya kondisi penghasil kayu (stock tegakan hutan) itu sendiri tidak diketahui, apakah tidak terjadi kemerosotan stock tegakan hutan Indonesia ? Hutan adalah SDA yang renewable, oleh karena itu kalau mau lestari, sebenarnya tingkat ekstraksi kayu dari hutan harus bisa pada tingkat yang tidak menurunkan stock tegakan hutan. Apa yang terjadi, di saat masa orde baru ditinggalkan, ternyata kemudian banyak unit-unit perusahaan pengusahaan hutan yang berhenti bekerja, yang disebabkan tidak memiliki stock tegakan hutan yang bisa ditebang lagi. Data ini menunjukkan bahwa di masa Orde Baru telah terjadi ekstraksi kayu pada tingkat yang melebihi kemampuan hutan untuk menghasilkan kayu yang layak tebang. Demikianlah, maka saat sekarang generasi yang ada merasakan dampaknya, yakni pendapatan dari sektor kehutanan merosot tajam yang diakibatkan terjadinya kemerosotan tegakan hutan sebagai penghasil kayu. Bahkan sebenarnya, norma produksi di sektor kehutanan tidak harus negatip, melainkan bisa positif yakni stok volume tegakan bisa meningkat, sejalan dengan waktu apabila manajemen usaha kehutanan mampu melaksanakannya. Apabila demikian, maka yang terjadi bukanlah harus berupa depresiasi (negatif) stock tegakan hutan melainkan terjadi apresiasi stock tegakan hutan (positif). Inventarisasi tegakan secara periodic (berkala) tentu sangat dibutuhkan, untuk mendampingi data produksi yang dihasilkannya.
Untuk sektor yang mirip dengan sektor kehutanan misalnya adalah sektor perikanan. Namun, untuk sektor perkebunan karena tidak produksinya tidak dilakukan dengan menabang pohon, maka kelestarian produksinya bisa lebih kuat dibandingkan dengan kelestarian produksi kayu.
Lain halnya dengan criteria kelestarian sektor tambang. Sektor ini tidaklah terbarukan (unrenewable), yang tentunya suatu saat akan habis apabila depositnya sudah ditambang seluruhnya. Kriteria kelestarian di sektor tambang, adalah bukan pada produksi tambang itu sendiri melainkan diukur dari penggunaan pendapatan pemerintah yang diperoleh dari sektor ini, yang mestinya tidak digunakan untuk keperluan rutin (konsumsi) pemerintah, melainkan untuk keperluan pembangunan di sektor lain non tambang. Oleh karena itu, norma yang diberlakukan adalah, bahwa penambangan tidak dilakukan membabi buta yakni semestinya dengan tingkat ekstraksi yang melebihi kemampuan pemerintah untuk membangun sektor yang renewable (misalnya industry) sehingga begitu sektor pertambangan kehilangan stock deposit tambang) maka sektor penggantinya (industry misalnya) sudah siap mengganti peranan tambang dalam pembentukan pendapatan nasional. Apabila norma ini tidak diterapkan, maka begitu stock tambang habis, maka pendapatan nasional dari sektor pertambangan akan ikut merosot (nol) karena kehilangan stok deposit tambang tanpa penggantinya. Oleh karena itu, dalam perhitungan pendapatan nasional lestari (hijau), nilai produksi tambang tidak masuk ke dalam data Pendapatan Nasional. Sehingga dikenal terminologi pendapatan nasional di luar tambang dan migas.
Kelestarian pembangunan ekonomi berkelanjutan juga harus ditandai dengan  tidak merosotnya nilai lingkungan yang terutama menimbulkan bencana baik bencana perekonomian maupun nyawa manusia. Apabila terjadi kemerosotan lingkungan, maka kemerosotan nilai dalam tahun berjalan harus dinilai, sebagai koreksi terhadap pendapat nasional.

Implikasi
Angka Pendapatan Nasional (atau PDB dan PDRB) Hijau (lestari), sebenarnya memang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk segera dilaksanakan negeri ini. Tentu saja, diperlukan dukungan data dari sektor-sektor usaha yang ada, karena BPS tentu tidak akan mampu melaksanakannya. Data yang diperlukan selain data yang yang secara rutin dikumpulkan oleh BPS terutama adalah data inventarisasi SDA yang masih dalam bentuk depositnya (termasuk inventarisasi tegakan hutan). Data inventarisasi SDA dan Mutu Lingkunan (baik berupa depresiasi maupun apresiasi) digunakan untk koreksi terhadai angka Pendapatan Nasional.

Oleh:
Sofyan P.Warsito **)

  REFERENSI

BALANGUE, TONIE O., 1991. Natural Resource Accounting: Dipterocarp Forests. Technical Report No.1, Natural Resources Accounting Project, National Institute of Geological Sciences, U.P. Dilliman, Quezon City, The Philippines.

COLBY, M. 1989. Evolution of Paradigms of Environmental Management in Development. Washington D.C.: The World Bank, Strategic Planning and Review Dept. (Discussion paper no.1).

DALY, HERMAN E., 1989. Steady-State versus Growth Economics: Issues for the Next Century. Paper for the  Hoover Institution Conference on Population, Resources and Environment, Stanford University, February 1-3, 1989

DALY, HERMAN E., 1981. Three Vision of The Economic Process. Paper dalam seminar "Environmentally Sustainable Strategies for Economic Development. World Bank, Washington, D.C.

DALY, HERMAN E. 1989. Sustainable Development: From concept and theory towards operational principles. Population and Development Review. Special Issue on the 1989 Hoover Institution Conference.

EL SERAFY, S. 1989. The proper calculation of income from depletable natural resources. In: AHMED, Y., EL SERAFY, S. and LUTZ, E. 1989. Environmental Accounting for Sustainable Development. Washington: The World Bank. Selected papers from UNEP- World Bank Symposium.

GEORGESCU-ROEGEN, NICOLAAS, 1971. The Entropy Law and the Economic Process, Harvard University Press, Cambridge, MA.

HICKS, J.R. 1946. Value and Capital. 2nd ed. Oxford University Press.

HUETING, R. 1989. Correcting National Income for Environmental Losses: Toward Practical Solution. Dalam: AHMED, Y., EL SERAFY, S. and LUTZ, E. 1989. Environmental Accounting fo Sustainable Development. Washington: The World Bank. Selected papers from a UNEP-World Bank Symposium.

MARGRATH, WILLIAM and ARENS, PETER., 1989. The Costs of Soil Erosion on Java: A Natural Resource Accounting Approach. The World Bank: Policy Planning and Research Staff, Washington D.C.

PESKIN, HENRY M., 1989. Accounting for Natural Resources Depletion and Degradation in Developing Countries. Environment Department Working Paper, The World Bank Policy Planning and Staff, Washington D.C.

PESKIN, HENRY M., 1991. Environmental Accounting in Indonesia: Towards A Comprehensive System. Paper prepared for Chemonics Inc. for Natural Resources Management Project 467-0262.

REPETTO, ROBERT., MARGRETH, WILLIAM., WELLS, MICHAEL., BEER, CHRISTINE., and ROSSINI, FABRIZIO. 1989.  Wasting Assets: Natural resources in the National Income Accounts. World Resources Institute.

WARSITO, SOFYAN P. 1994. Natural Resources Depletion  in Indonesia: A Natural Resource Accounting Approach. Unpublished Dissertation. University of The Philipllines.




0 komentar:

Posting Komentar

Chit-Chat

Find Us on Facebook

Diberdayakan oleh Blogger.